PENGERTIAN ANIMASI 3D
Animasi 3D adalah pengembangan dari animasi 2D. Dengan animasi 3D, karakter yang diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud manusia aslinya. hingga karakter animasi secara dapat diartikan sebagai gambar yang memuat objek yang seolah-olah hidup, disebabkan oleh kumpulan gambar itu berubah beraturan dan bergantian ditampilkan. Objek dalam gambar bisa berupa tulisan, bentuk benda, warna dan spesial efek.
SEJARAH AWAL ANIMASI 3D
Teknologi 3D sebenarnya sudah muncul tak lama sejak teknologi fotografi muncul pertama kali. Pada tahun 1856, JC d’Almeida memberikan demonstrasi di Academie de Sciences tentang gambar-gambar stereoscopik (dua gambar foto yang sama dengan perspektif sedikit berbeda satu sama lain berjarak sekitar dua setengah inci yang merepresentasikan jarak antara kedua mata manusia) yang diproyeksikan secara bergantian dengan cepat melalui slides cahaya lentera berwarna merah dan hijau. Sementara itu penonton memakai kaca mata merah dan hijau sehingga mereka bisa melihat gambar foto itu secara tiga dimensi.
Setelah itu pada tahun 1890an, Ducos du Hauron mematenkan temuannya berupa dua warna, sistem anaglyph: dua lembar film positif transparan stereoscopik di-superimpose (ditumpuk). Ketika diproyeksikan, penonton bisa melihat efek tiga dimensi dengan memakai kacamata anaglyph (lensa merah di satu sisi dan lensa biru di sisi yang lain). Pada masa sekarang kaca mata anaglyph memakai lensa merah dan cyan.
Pada tahun 1897, C. Grivolas mengadaptasi sistem anaglyph ini untuk memutar film bergerak (motion pictures) secara 3D namun pengaplikasian teknologi ini baru dipakai pertama kali untuk film layar lebar di tahun 1922 dengan film The Power of Love yang dibuat oleh Harry K Fairall. Secara teknis selain memakai sistem anaglyph, film ini juga memakai dual film strip projection. Artinya, dibutuhkan dua strip film yang diputar secara bersamaan dengan dua proyektor film sejajar. Setelah itu banyak bermunculan film-film lain dengan format 3D sistem anaglyph yang lain.
Anaglyph sendiri memiliki kelemahan, yaitu untuk menghasilkan efek tiga dimensi, sistem ini melakukan pemblokiran warna-warna tertentu dari gambar stereoscopik yang diproyeksikan ke layar untuk mendapatkan efek 3D. Akibatnya tidak tercapai full colour. Hal ini tidak bermasalah di zaman film hitam-putih. Ketika muncul film berwarna di tahun 1935 maka ini menjadi sebuah problem.
Sebuah gebrakan teknologi muncul ketika ilmuwan bernama Edwin Land mematenkan temuannya berupa filter Polaroid di tahun 1932. Filter Polaroid dibentuk dengan tumpukan lapisan-lapisan filter tipis transparan yang dimiringkan dengan sudut tertentu untuk meniadakan silau (glare) cahaya yang dilewati filter itu. Di kemudian hari filter ini bisa diaplikasikan untuk teknologi 3D dan kamera instan Polaroid. Dibandingkan dengan sistem anaglyph, Polaroid 3D (Polarized 3D) lebih baik karena prinsip kerjanya mempolarisasi (memfilter) gelombang cahaya tertentu tanpa memblokir warna apapun agar tercapai efek 3D ketika diproyeksikan di layar dan ditonton dengan kaca mata anaglyph.
Di Uni Soviet pada tahun 30an, seorang insinyur Rusia berhasil menyempurnakan teknologi film 3D dengan sistem yang disebut parallax stereogram. Sistem ini sebelumnya dikembangkan secara terpisah oleh A. Berhtier, E. Estenave dan Frederick Ives. Tidak seperti anaglyph ataupun polirized 3D, sistem ini berfungsi menghasilkan proyeksi gambar film tiga dimensi tanpa penonton memakai kacamata anaglyph atau apapun. Kekurangan sistem ini adalah apabila duduk miring atau melihat dari perspektif yang miring maka efek stereoscopi atau 3D film itu buyar.
Adapun perkembangan media animasi 3D di dalam dunia Film , yaitu :
a. Masa Keemasan Poster film Bwana Devils (1952), perintis 3D di Hollywood (Sumber: Internet)
Tahun 1950an menjadi masa keemasan pertama bagi film 3D di Hollywood. Perintisnya: Bwana Devils (1952). Film ini ditulis dan disutradarai oleh Arch Oboler dan dianggap sebagai film layar lebar pertama berwarna dengan sistem Polaroid 3Ddual strip. Setelah itu banyak muncul film-film 3D lainnya seperti Man in The Dark, House of Wax, It Came From Outer Space, Dial M For Murder, Creature From The Black Lagoon, Inferno, dan lain-lainnya. Kemudian popularitas film 3D secara tak disangka menurun. Ada beberapa faktor kenapa hal ini terjadi:
1. Distributor film beranggapan, karena film 3D menggunakan dual strip untuk setiap pemutaran, berarti harga sewa copy film menjadi dua kali lipat. Kenyataannya penonton tidak mau membayar harga tiket dua kali lipat.
2. Karena memakai sistem dual strip dengan proyektor ganda yang saling terkait, maka setiap pemutaran film harus dipastikan gambar dari kedua proyektor sinkron setiap saat agar penonton tidak mengalami efek pusing atau mata pegal. Hal ini sulit untuk dijaga terus-menerus karena setelah pemutaran berkali-kali copy film dapat mengalami kerusakan di beberapa bagian. Biasanya, proyeksionis menangani copy cacat dengan membuang frame yang rusak. Pada dual strip, jumlah frame dan panjang print film harus sama untuk kedua copy.
3. Di samping itu, tidak fokusnya gambar pada salah satu proyektor akibat kecerobohan proyeksionis juga dapat membuat penonton mengalami pusing dan mata pegal.
Akibat kendala-kendala di atas, setelah 1955, tren film 3D cenderung menurun dan era keemasan tahun 50an berakhir.
b. Era Single Strip 3D Film
Setelah tahun 1955 dunia film lebih tertarik dengan format 2D widescreen yang merupakan hal baru pada waktu itu. Walaupun demikian, film 3D tidak benar-benar total menghilang. Beberapa film masih diproduksi dengan menggunakan format 3D di tahun 1960an sampai pertengahan 1980an. Salah satu film 3D yang terkenal di masa 60an adalah The Mask (1961) produksi Kanada. Film ini unik karena gambar 3D hanya dipakai di beberapa segmen saja dan sebelum segmen dimulai ada instruksi untuk penonton untuk memakai kacamata anaglyph. Selain itu, teknik 3D mulai digunakan dalam beberapa film porno baik jenis semi maupun hardcore. Salah satu judul film porno format 3D yang terkenal adalah The Stewardess buatan 1970.
Perkembangan paling penting di masa ini adalah munculnya sistem kamera baru untuk 3D yang disebut Spacevision. Spacevision adalah inovasi oleh insinyur dan fotografer stereoskopik berlatar belakang militer Amerika, Kolonel Bernier. Dengan bantuan Arch Oboler, sutradara Bwana Devil, Bernier berhasil menciptakan Lensa Trioptiscope, komponen penting di sistem Spacevision. Lensa ini berfungsi untuk menumpuk gambar kiri dan kanan dalam satu film strip dalam proses syuting sehingga bisa dipakai satu kamera saja dibandingkan dengan dua kamera dengan rigging khusus. Arch Oboler memakai teknologi ini dalam film berjudul Bubble (1966). Untuk penayangan, juga hanya digunakan satu copy film yang diputar di satu proyektor yang memakai lensa khusus. Setelah itu banyak bermunculan sistem kamera 3D dengan satu film strip. Salah satu yang terkenal adalah Stereovision. Sistem single film strip memberikan kesempatan bagi dunia perfilman untuk memproduksi film 3D dengan bujet jauh lebih rendah dibanding sistem dual strip.
c. Bangkitnya Film 3D di Era Digital
Teknologi digital baik untuk pengambilan gambar (kamera), pasca produksi maupun untuk penayangan (sistem proyektor) telah memberikan kemudahan bagi pengadaan film 3D. Dari tahun pertengahan 1980an sampai awal 2000an berbagai film 3D banyak diproduksi namun sebagian besar tidak tayang sebagai film komersial melainkan sebagai tontonan di wahana taman hiburan seperti Disneyland, Universal Studios, dan sebagainya sampai munculnya sistem digital cinema yang standar dan universal di awal 2000an.
Di tahun 2000an ini para pembuat film di Hollywood melihat bahwa teknologi digital memberikan mereka kendali yang lebih baik dalam membuat dan menayangkan film 3D sebagai tontonan mainstream. Sutradara James Cameron, salah satu pelopor 3D di era digital, membuat film IMAX 3D berjudul Ghost From Abyss di tahun 2003. Film ini adalah dokumenter tentang kapal karam Titanic yang terkenal.
Robert Rodriguez, sutradara terkenal lainnya, membuat dua film 3D berjudul Spy Kids 3-D: Game Over (2003) danThe Adventure of Sharkboy and Lavagirl in 3D (2005). Kedua film menggunakan teknologi anaglyph 3D. Setelah itu banyak film 3D yang diproduksi namun kebanyakan merupakan film animasi seperti Polar Express (2004), Open Season(2006), dan Ant Bully (2006). Di tahun 2009, James Cameron kembali merilis sebuah film 3D berjudul Avatar. Film dengan budget US$ 237 juta yang sukses di seluruh dunia ini menghasilkan uang sebesar US$ 2,782,275,172 dan menjadikan film ini terlaris sepanjang masa sampai sekarang. Sukses ini membuat Hollywood berlomba-lomba memproduksi film 3D dan mempercepat konversi sinema digital secara global.
d. Pembuatan Film 3D Sekarang
Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke 3D. Pembuatan film live action membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca produksi (editing, colorgrading, mastering, dan sebagainya). Pembuatan animasi 3D dianggap lebih sederhana dengan menggunakan kamera virtual di komputer dan kesalahan efek 3D lebih bisa dihindari daripada pembuatan film 3D live action
Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif. Pengambilan gambar dilakukan secara 2D namun dalam pasca produksi dilakukan keputusan bahwa film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan proses yang sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar ganda untuk mata kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak. Biasanya konversi dilakukan terhadap film-film lama yang dirilis ulang ke format 3D seperti Nightmare Before Christmas dan Titanic (90an).
Contoh Animasi 3D
- Shincan.
- Tom and Jerry.
- Scooby Doo.
- Doraemon.
- Dragon Ball.
- Hunter X Hunter.
- One Piece
- Naruto.
- Toy Story.
- Monster Inc.
- Finding Nemo.
- The Incredible.
- Cars.
- AntZ.
- Bugs Life.
- Adit, Sopo, Jarwo.
- Upin dan Ipin